Hukum acara perdata — Presentation
Transcript
Program Studi Ilmu Hukum Mata Kuliah Hukum Acara Perdata SKS
3 SKS Semester Genap Dosen Pengampu Suryadi SH
SILABUS HUKUM ACARA PERDATA
I. PENDAHULUAN Pengertian dan Fungsi Hukum Acara Perdata
Sumber-sumber Hukum Acara Perdata Asas-asas Hukum Acara Perdata
II. KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA Kekuasaan Kehakiman
yang Mandiri Badan Peradilan Negara Lingkungan Lembaga Peradilan Kompetensi
Lembaga Peradilan
III.TATA CARA PENGAJUAN TUNTUTAN HAK Pengertian Tuntutan Hak
Keperdataan Pihak-pihak dalam Perkara Perdata Tata Cara Pengajuan Gugatan
Penggabungan Tuntutan Hak Upaya-upaya Menjamin Hak
IV.PROSES PEMERIKSAAN PERKARA DI SIDANG PENGADILAN
Pencabutan dan Perubahan Gugatan Putusan Gugur,Verstek dan Putusan Damai
Jawaban Tergugat Proses Pembuktian dan Macam-macam Alat Bukti
V. PUTUSAN HAKIM DAN PELAKSANAANNYA Pengertian Putusan dan
Macam-macam Putusan Upaya Hukum Terhadap Putusan Hakim Syarat-syarat
Pelaksanaan Putusan Hakim Tata Cara Pelaksanaan Putusan Hakim
1.1. Pengertian dan Fungsi Hukum Acara Perdata Hukum Acara
Perdata ------- adalah Peraturan Hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan
hakim(Mertokusumo,1998:2)
Pengertian dan Fungsi Hukum Acara Perdata Hukum Acara
Perdata-------- adalah seperangkat norma hukum yang mengatur bagaimana caranya
menegakkan hukum perdata material,khususnya dalam hal terjadi pelanggaran hak
atas subyek hukum tertentu oleh subyek hukum yang lain melalui perantaraan hakim
untuk mencegah terjadinya perbuatan main hakim sendiri
Pengertian dan Fungsi Hukum Acara Perdata Hukum Acara
Perdata ---------- secara kongkrit hukum acara perdata mengatur tentang
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak,memeriksa dan memutusnya serta
pelaksanaan daripada putusannya (Mertokusumo,1998:2)
1.2. Sumber-sumber Hukum Acara Perdata Sumber Hukum material
yaitu sumber hukum dalam arti bahan diciptakannya atau disusun suatu norma
hukum. Sumber Hukum Formal yaitu sumber hukum dalam arti dapat ditemukannya
atau dapat digalinya satu norma hukum sebagai satu dasar yuridis suatu
peristiwa hukum atau suatu hubungan hukum tertentu.
Sumber Hukum Material Sumber dalam arti sumber filosofis;
Sumber dalam arti sumber sosiologis; Sumber dalam arti sumber historis; Sumber
dalam arti sumber yuridis.
Sumber Hukum Formal Sumber Hukum Tertulis HIR,RBg,RV
Undang-undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman UU No.3 Tahun 2009
dan UU No.5 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung UU No. 49 Tahun 2009 danUU No.8 Tahun 2004 Perubahan atas undang-undang
No.2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum UU No 50 Tahun 2009 dan UU No. 3 Tahun
2006 Tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang-undang No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat Undang-undang Khusus lainnya dan
peraturan-peraturan pelaksana lainnya dalam bidang peradilan
Sumber Hukum Formal Sumber Hukum Tidak Tertulis
Yurisprudensi Doktrin dan ilmu Pengetahuan
1.3. Asas-Asas Hukum Acara perdata Asas Hukum adalah
dasar-dasar filosofis yang menjadi dasar(ratio legis) norma hukum yang
mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis yang menjadi jembatan antara
peraturan-peraturan hukum dan cita-cita social serta pandangan etis masyarakat.
Asas Hakim Bersifat Menunggu Adalah asas yang menyatakan ada
tidaknya perkara di muka hakim tergantung inisiatif dari para pihak sendiri
yang berkepentingan, Hakim lebih bersifat menunggu sampai perkara diajukan di
hadapannya.
Ius Curia Novit Pengadilan atau hakim tidak boleh menolak
untuk menerima,memeriksa ,mengadili dan memutus suatu perkara yang
diajukan,sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas,melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya ( Pasal 10 ayat (1) UU
No.48 Tahun 2009 )----- Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit).
Hukum Tidak Ada / Kurang Jelas Dalam hal hukumnya tidak ada
atau kurang jelas hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ( Pasal 5 ayat (1) UU No.
48 Tahun 2009) Penafsiran Hukum Yurisprudensi Doktrin dan ilmu pengetahuan
Kebiasaan dalam Praktek Peradilan
Asas Hakim Bersifat Pasif Dalam memeriksa perkara hakim
tidak ikut menentukan luas pokok perkara,luas pokok perkara ditentukan sendiri
oleh para pihak,apa yang diinginkan untuk diperiksa,diadili dan diputuskan oleh
hakim menjadi hak sepenuhnya dari para pihak. Pengadilan atau hakim hanya
mempunyai tugas untuk membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,cepat
dan biaya ringan ( Pasal 4 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009)
Hakim Wajib Memeriksa dan Mengadili Hakim Wajib memeriksa
dan mengadili seluruh gugatan dan hakim dilarang untuk menjatuhkan putusan atas
perkara yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut, dalam hal hakim
memutuskan melampaui batas kewenangannya maka putusannya dapat dibatalkan oleh
pengadilan yang lebih tinggi, putusan dapat dimintakan banding,kasasi maupun
peninjauan kembali.
Asas Sidang Terbuka Untuk Umum Sidang pemeriksaan pengadilan
adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-undang menentukan lain ( Pasal 13
ayat (1) UU No.48 Tahun 2009), sidang pengadilan dapat dihadiri, didengar dan
dilihat oleh siapapun kecuali oleh orang-orang yang memang dilarang oleh
undang-undang, tidak dipenuhinya asas ini berakibat putusan hakim menjadi batal
demi hukum ( Pasal 13 ayat (3) UU No.48 Tahun 2009 )
Tujuan Sidang Terbuka Untuk Umum Untuk menjamin
terlaksananya sistem peradilan yang obyektif, adil dan fair serta memungkinkan
adanya control social dari masyarakat.
Pengecualian Asas Sidang Terbuka Untuk Umum S idang dapat
dilakukan secara tertutup dalam hal: menyangkut perkara anak-anak, perkara
kesusilaan, perkara yang berkaitan dengan ketertiban umum dan rahasia negara,
perkara perkawinan dan perceraian.
Asas Mendengar Kedua Belah Pihak ( audi et alteram partem )
Kedua belah pihak yang bersengketa ,baik penggugat maupun tergugat harus
didengar keterangannya secara sama dan adil,hakim tidak boleh memihak dan berat
sebelah dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus obyektif,adil dan fair
dalam memperlakukan para pihak yang bersengketa“ Pengadilan mengadili menurut
hukum dan tidak membeda-bedakan orang ( Pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009).
Asas Putusan hakim Harus Disertai Alasan-alasan “ Segala
putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,memuat
pula pasal tertentu dari peraturan perundangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili ( Pasal 50 ayat (1) UU
No. 48 Tahun 2009 )”
Dasar Alasan Putusan hakim Alasan Berdasarkan Fakta-faktanya
Alasan Berdarkan Hukumnya Dasar alasan Putusan Hakim menjadi ukuran atau
parameter adil,obyektrif, fair tidaknya suatu putusan hakim. Putusan Hakim
Harus dapat dipertanggungjawabkan pada para pihak, masyarakat, hakim yang lebih
tinggi dan pada dunia ilmu pengetahuan.
Asas beracara dikenakan biaya Berperkara di pengadilan tentu
diperlukan biaya. Asasnya biaya ringan,sehingga dapat ditanggung oleh
masyarakat. Biaya perkara meliputi,biaya kepaniteraan,biaya pemanggilan para
pihak maupun para saksi,biaya meterai dan sebagainya. Persekot biaya perkara
untuk pertama kalinya dibayarkan oleh pihak penggugat bersama-sama pada waktu
mengajukan gugatannya, sedangkan siapa yang harus menangung beban biaya perkara
pada prinsipnya adalah para pihak sendiri, dalam praktek beban biaya perkara
ditentukan oleh hasil dari putusan pengadilan.
Biaya Perkara Dalam hal tuntutan dikabulkan biaya perkara
dibenankan pada pihak tergugat Dalam hal tuntutan tidak dikabulkan biaya
perkara ditanggung oleh penggugat Dalam hal ada putusan damai,biaya perkara
ditentukan sendiri oleh penggugat dan tergugat dalam perdamaiannya.
Perkara Prodeo Bagi pihak-pihak yang tidak mampu dapat
mengajukan permohonan agar perkaranya diperiksa secara Cuma-Cuma (prodeo )
dengan disertai surat keterangan tidak mampu dari pemerintah setempat, biaya
perkara ditanggung oleh negara ( Pasal 56 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 )
Asas tidak ada keharusan untuk mewakilkan Pada p rinsipnya
dalam perkara perdata para pihak dapat beracara sendiri di muka pengadilan
tanpa harus mewakilkan pada seorang wakil atau kuasa hukum,tetapi para pihak
dapat juga mewakilkan atau menguasakan pada orang lain untuk beracara di muka
pengadilan sebagai kuasa hukumnya.
Bantuan Hukum Setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum ( Pasal 56 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 )
Wakil /Kuasa berdasarkan undang-undang (wettelijke
vertegenwoodig atau legal mandatory ) undang-undanglah yang telah menetapkan
seseorang atau badan untuk dengan sendirinya menurut hukum bertindak sebagai
wakil dari orang atau badan tanpa memerlukan surat kuasa. Contoh : Wali
terhadap anak di bawah perwaliannya Orang tua terhadap anak-anaknya yang belum
dewasa kurator terhadap orang-orang yang ada di bawah kuratelenya BHP, Orang
atau Badan yang ditunjuk sebagi curator dalam kepailitan.
Wakil atau kuasa berdasarkan perjanjian Wakil atau kuasa
berdasarkan adanya perjanjian pemberian kuasa untuk melakukan suatu perbuatan
hukum tertentu ,misalnya kuasa khusus untuk mengajukan gugatan ke pengadilan
negeri antara seorang penggugat dengan pengacaranya.
Acara Kepailitan Dalam acara khusus permohonan pernyataan
pailit ,ketentuan asas tidak ada keharusan untuk mewakilkan menjadi tidak
berlaku dengan adanya ketentuan bahwa setiap permohonan yang berkaitan dengan
kepailitan harus diajukan oleh seorang kuasa(Advokat) sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 UU No37 Tahun 2004 tentang kepailitan.
. Asas obyektifitas Hakim dalam menerima,memeriksa,mengadili
dan memutuskan setiap perkara harus berlaku adil,obyektif dan fair tidak boleh
memihak pada salah satu pihak kedua belah pihak harus diperlakukan secara
imbang.
jaminan penerapan asas obyektifitas Sebagai jaminan
penerapan asas obyektifitas ada beberapa asas yang terkait dan saling
mendukung,misalnya adanya asas sidang terbuka untuk umum,asas mendengar kedua
belah pihak,asas putusan disertai alasan-alasan,asas hakim majelis dan lain
sebaginya,di samping itu untuk lebih menjamin asas obyektifitas pada para pihak
diberikan adanya “hak ingkar (recusatie atau hak wraking)” “ Pihak yang diadili
mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang akan mengadili perkaranya ( Pasal 17
ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 ) “
Hak Ingkar A dalah hak seorang yang diadili untuk mengajukan
keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili
perkaranya (Pasal 17 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009)
Dasar Alasan Hak Ingkar Dasar alasan pengajuan hak ingkar (
Pasal 17 ayat (3,4,5) UU No.48 Tahun 2009, Pasal 374 ayat (1) HIR) : Apabila
seorang hakim terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga,atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai,dengan
ketua,salah seorang hakim anggota,jaksa,advokat,atau panitera; A pabila ketua
majelis,hakim anggota,jaksa,atau panitera terikat hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun
telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat; A pabila hakim atau
panitera mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang
sedang diperiksa.
Hak Ingkar Berdasarkan alasan yang sama seorang hakim atau
panitera wajib untuk mengundurkan diri baik atas keinginan sendiri maupun atas
permintaan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam hal terjadi pelanggaran
terhadap alasan pada ayat (5) maka putusan hakim menjadi tidak sah dan terhadap
hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administrative atau
pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ( Pasal 17 ayat
(6) UU No.48 Tahun 2009 ).
. Asas sistem majelis “ Semua pengadilan memeriksa,mengadili
dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim kecuali
undang-undang menentukan lain (Pasal 11 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009) “
Asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (
Pasal 2 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009) Setiap putusan pengadilan dalam kepala
putusannya harus mencantumkan klausula Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa,klausula ini merupakan klausula eksekutorial. Tidak dipenuhinya asas
ini dalam putusan,berakibat putusan tidak dapat dilaksanakan dan putusan
menjadi batal demi hukum
Asas peradilan yang sederhana,cepat dan biaya ringan( Pasal
2 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009 ) Sederhana dalam pengertian bahwa peradilan
dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak formalistis,tidak memerlukan birokrasi
yang sulit serta acaranya mudah difahami oleh masyarakat; Cepat,dalam
pengertian bahwa proses peradilan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu yang
penyelesaiannya dapat diukur secara pasti dan jelas dalam waktu berapa lama
suatu perkara dapat diselesaikan oleh hakim pada semua tingkat; Biaya
ringan,proses peradilan tentu memerlukan biaya,hanya saja tentunya biaya yang
dibebankan selaras dan sebanding dengan perkara yang diajukan dan dapat
ditanggung oleh masyarakat.
II. KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri mandiri dalam tugas
yudisial mandiri dalam bidang administrasi mandiri dalam bidang organisasi
mandiri dalam bidang financial
Kekuasaan kehakiman Yang Merdeka “ Kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya
negara hukum Republik Indonesia ( Pasal 1 butir 1 UU No. 48 Tahun 2009 ) “
Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka “ Kekuasaan kehakiman yang
merdeka mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala
campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial,kecuali dalam hal-hal sebagaimana
disebut dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Penjelasan Pasal 1
UU No.4 / 2004 )” “ Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat
tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila ,sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat
Indonesia (penjelasan Pasal 1 UU No.4 Tahun 2004 )
Kemandirian Peradilan Dalam menjalankan tugas dan fungsinya
hakim dan hakim konstitusional wajib menjaga kemandirian peradilan Bebas dari
campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik
maupun psikis
Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka “ Segala campur tangan
dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang,kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945 ( Pasal 3 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 )
Kebebasan Wewenang Yudisial Bersiafat tidak Mutlak dan
Dibatasi Oleh : Nilai-nilai Norma Hukum; Nilai-nilai Keadilan; Nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945
2. Badan Peradilan Negara dan Lingkungan Peradilan “ Semua
peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara
dan ditetapkan dengan Undang-undang{ Pasal 2 ayat (3) UU No.48 Tahun 2009}
Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman “ Penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman….. dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,lingkungan peradilan
agama,lingkungan peradilan militer,lingkungan peradilan tata usaha negara,dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 2 Jo Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU
No 4 Tahun 2004,Pasal 18 UU No.48 tahun 2009)
Organisasi,administrasi,dan financial Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah
agung ( Pasal 21 ayat ( 1 ) UU No. 48 tahun 2009) Mahkamah Konstitusi berada di
bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi ( Pasa 29 ayat (4) UU No.48
Tahun 2009)
Skema Kekuasaan Kehakiman Umum Agama Militer Tata Usaha
Negara
MAHKAMAH AGUNG
PENGADILAN TINGGI MAHMILTI PT TUN PENGADILAN TINGGI AGAMA MAHKAMAH KONSTITUSI
PENGADILAN NEGERI MAHMIL PTUN PENGADILAN AGAMA
Pengadilan Khusus “ Pengadilan Khusus hanya dapat di bentuk
dalam salah satu lingkungan peradilan sebagimana dimaksud dalam Pasal 10 yang
diatur dengan Undang-undang (Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 ) “
Pengadilan khusus,antara lain,adalah pengadilan anak,pengadilan
niaga,pengadilan hak asasi manusia,pengadilan tindak pidana korupsi,pengadilan
hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum dan perdilan pajak
di lingkungan peradilan tata usaha negara ( penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU No.
4 / 2004
Peradilan syariah Islam “ Peradilan syariah Islam di
Propinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangnan peradilan agama
dan merupakan penagdilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan pengadilan umum (Pasal 15 ayat (2) UU No.4
/ 2004 )
Pengadilan syariah Islam Terdiri atas Mahkamah Syariah untuk
tingkat pertama dan Mahkamah syariah Propinsi untuk tingkat banding……… (
Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 )
2.4. Kompetensi Lembaga Peradilan
Kompetensi / kewenangan absulut Adalah merupakan Kewenangan
lembaga peradilan dalam menerima, memeriksa dan mengadili serta memutus suatu
perkara tertentu berdasarkan atribusi kekuasaan kehakiman yang secara mutlak
tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain,baik dalam lingkungan badan
peradilan yang sama,maupun dalam lingkungan peradilan yang berbeda. Kopetensi
absulut terkait dengan pertanyaan peradilan apakah yang mempunyai kopetensi
atau kewenangan untuk memeriksa suatu jenis perkara tertentu. Apakah peradilan
umum,peradilan agama,atau peradilan lainnya
Kopetensi Absolut Lingkungan Peradilan Umum
Kompetensi Absolut Pengadilan Negeri
Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus semua perkara atau sengketa
keperdataan pada tingkat pertama ( Pasal 50 UU No.2 /1986 Jo UU No. 8 /2004)
Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus perkara pidana pada tingkat pertama (
Pasal 50 UU No.2 /1986 Jo UU No.8 /2004 ) Menerima,memeriksa,mengadili dan
memutus pada tingkat pertama perkara koneksitas.
Perkara Koneksitas Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama
oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan
militer,diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum,kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung
perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer “ ( Pasal 24 UU No. 4 / 2004
Kompetensi Absulut Pengadilan Tinggi
Menerima,memeriksa,mengadili dan memutuskan perkara/sengketa perdata pada
tingkat banding atas putusan pengadilan tingkat pertama ( Pasal 51 ayat (1) UU
No.2 /1986 Jo UU No 8 /2004 ) Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus perkara
pidana pada tingkat banding atas putusan pengadilan tingkat pertama ( Pasal 51
ayat (1) UU No. 2 /1986 Jo UU No.8 /2004 ) Menerima,memeriksa,mengadili dan
memutus ditingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara
pengadilan negeri di daerah hukumnya(menyangkut kopetensi relatif---- Pasal 51
Ayat (2) UU No. 2 / 1986 Jo UU No.8 /2004 ) Menerima,memeriksa dan mengadili
serta memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara /sengketa perdata
secara prorogasi (Pasal 3 ayat (1),(2) UU Dar. 1 /1951 ,Pasal 128 (2) RO dan
Pasal 85 RBg
Kompetensi Absulut Mahkamah Agung mengadili pada tingkat
kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di
semua lingkubngan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung ( Pasal 11 ayat
( 2 ) huruf a UU No.4 /2004 ) menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang ( Pasal 11 ayat ( 2) huruf b UU No. 4 /
2004 )
memeriksa,mengadili dan memutus sengketa wewenang mengadili
: a. antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan
dalam lingkungan peradilan yang lain, b. antara dua pengadilan yang ada dalam
derah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dari lingkungan peradilan
yang sama dan c. antara dua pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan
yang sama atau antara lingkungan peradilan yang berlainan ( Pasal 33 ayat (1)
UU No. 14 / 1985 ) Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan
muatannya oleh kapal perang RI diputus oleh MA dalam tingkat pertama dan
terakhir ( Pasal 33 ayat (2) UU No. 14 / 1985 Permohonan peninjauan kembali
atas putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap ( Pasal 34 UU
No.14 / 1985 ).
Kopetensi absulut Mahkamah Konstitusi Mahkamah konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk: (Pasal 12 ayat (1) UU No.4 /2004 ) menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 ;
memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. Wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan /atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,dan /atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan /atau wakil Presiden Pasal 12 ayat (
2 ) UU No. 4 / 2004 ).
Kompetensi Relatif Adalah kewenangan lembaga peradilan dalam
menerima,memeriksa,mengadili dan memutus suatu perkara tertentu berdasarkan
wilayah hukum suatu pengadilan berdasar distribusi kekuasaan kehakiman.
Kompetensi relative menyangkut pertanyaan ke pengadilan negeri manakah suatu
perkara harus diajukan ?
Kompetensi Relative Ditemukan Pengaturannya dalam Pasal 118
HIR atau Pasal 142 RBg : Sebagai asas ditentukan bahwa Pengadilan Negeri di
tempat tinggal tergugat yang wenang untuk memeriksa gugatan atau tuntutan
hak,asas ini disebut asas actor sequitur forum rei ( Pasal 118 ayat (1) HIR,142
ayat (1) RBg ) Apabila tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal
atau tempat tinggalnya yang nyata tidak dikenal atau tergugat tidak
dikenal,maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tergugat
sebenarnya tinggal ( Pasal 118 ayat (1) HIR,142 ayat (1) RBg )
Dalam hal ada domisili pilihan maka gugatan di ajukan kepada
pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal atau domisili
pilihan tersebut ( Pasal 118 ayat (4) HIR,142 ayat (4) RBg) ------ domisili
/tempat tinggal pilihan harus dibuat dengan akta oleh para pihak (Pasal 24 BW)
Dalam hal pihak tergugatnya lebih dari seorang dan tempat tinggalnya tidak
dalam satu wilayah hukum pengadilan negeri ,maka gugatan dapat diajukan kepada
pengadilan negeri di tempat salah satu tergugat bertempat tinggal. Penggugat
dapat memilih salah satu pengadilan di wilayah hukum para tergugat bertempat
tinggal (Pasal 118 ayat (2) HIR,Pasal 142 ayat (3) RBg )
Dalam hal tergugatnya terdiri orang-orang yang berhutang
(debitur) dan penanggung,maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang
meliputi wilayah hukum tempat tinggal si berhutang atau debitur (Pasal 118 ayat
(2) HIR,142 ayat(2) RBg ) Dalam hal obyek gugatan adalah benda tetap maka
gugatan diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi letak
benda tetap tersebut -------- asas forum rei sitae ( Pasal 118 ayat (3) HIR,Pasal
142 ayat (5) RBg
Dalam hal tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang
dikenal maupun tempat tinggal yang nyata atau apabila tergugat tidak
dikenal,gugatan dapat diajukan kepada pengadilan negeri di tempat penggugat
tinggal ( Pasal 118 ayat(3) HIR, 142 ayat (3) RBg) ----- bentuk penyimpangan
atas asas actor sequitur forum rei.
Terhadap kompetensi relatif apabila tidak ada eksepsi maka
pengadilan tetap mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara
yang telah diajukan oleh penggugat. Ketidak wenangan pengadilan dengan alasan
melanggar kompetensi relatif harus berdasarkan adanya eksepsi dari salah satu
pihak yang bersengketa (pihak tergugat). Sedangkan menyengkut kompetensi
absulut ada atau tidak eksepsi hakim harus menyatakan dirinya tidak wenang.
III. TATA CARA PENGAJUAN TUNTUTAN HAK
3.1. Pengertian Tuntutan hak Tuntutan hak adalah suatu upaya
yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum atas hak –hak tertentu yang
dimiliki oleh seseorang melalui proses peradilan yang dibenarkan menurut hukum
untuk mencegah terjadinya “eigenrichting”atau perbuatan main hakim sendiri
dalam melaksanakan haknya sehingga menimbulkan perbuatan melawan hukum yang
dapat merugikan pihak lainnya.
Macam-macam Tuntutan Hak Tuntutan hak yang tidak mengandung
sengketa . Tuntutan hak yang mengandung sengketa
Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa Yaitu tuntutan
hak yang diajukan di muka sidang pengadilan tanpa didahului adanya
persengketaan di antara pihak pihak yang berkepentingan atau yang terlibat di
dalamnya. Pengajuannya berbentuk permohonan. Sistem peradilan yang dipakai
adalah sistem volunteer (peradilan yang tidak sesungguhnya ).
Tuntutan hak yang mengandung sengketa Yaitu tuntutan hak
yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan di muka pengadilan yang
didahului adanya persengketaan atau perselisihan atas suatu hak tertentu di
antara pihak-pihak yang berkepentingan. Berbentuk gugatan atau tuntutan perdata
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR atau Pasal 142 ayat (1)
RBg Sistem peradilan yang dipakai adalah peradilan Contentieus (peradilan yang
sesungguhnya)
Perbedaan Permohonan dan Gugatan Dilihat dari para pihaknya,
dalam permohonan pada umumnya pihaknya hanya ada pemohon,tetapi tidak menutup
kemungkinan juga ada pihak termohonnya. Dalam gugatan para pihaknya terdiri
dari dua pihak yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat dan dimungkinkan juga
berperkara dengan pihak ketiga yang masuk dalam sengketa mereka. Dilihat dari
bentuk pengajuan perkaranya berbentuk permohonan dan gugatan berbentuk gugatan.
Dilihat dari sistem peradilannya,permohonan masuk dalam sistem peradilan
volunteer sedang gugatan masuk dalam sistem peradilan kontentieus.
Dilihat dari fungsi dan tugas hakim,dalam permohonan hakim
lebih bersifat sebagai administrator,sedang dalam gugatan hakim bersifat
mengadili diantara kedua belah pihak antara yang salah dan yang benar. Dilihat
dari putusan yang dihasilkan oleh hakim,dalam permohonan bentuk putusannya
berupa penetapan,sedangkan dalam gugatan berbentuk keputusan. Pada umumnya
putusan atas permohonan yang berupa penetapan tidak memerlukan eksekusi,sedang
putusan atas gugatan pada umumnya memerlukan eksekusi.
3.3. Tata Cara Pengajuan Gugatan di Pengadilan Gugatan dapat
diajukan secara lisan maupun secara tertulis Isi Gugatan,dalam HIR maupun Rbg
tidak mengatur tentang apa yang harus dicantumkan dalam gugatan,HIR dan RBg
hanya mengatur tentang tata caranya mengajukan gugatan. untuk mengisi
kekosongan hukum ini ketentuan RV (hukum acara perdata untuk golongan Eropa )
dapat dijadikan rujukan dalam menyusun surat gugatan dengan merujuk ketentuan
Pasal 119 HIR dan Pasal 143 RBg yang memberi wewenang ketua pengadilan negeri berkuasa
untuk memberi nasehat dan pertolonggan kepada orang yang mengugat atau kepada
wakilnya tentang hal memasukkan gugatannya.
ISI SURAT GUGATAN ( Pasal 8 No.3 RV): I dentitas dari para
pihak,baik penggugat maupun pihak tergugatnya. Dalil-dalil Kongkrit adanya
hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan dari tuntutan (Fundamentum
Petendi atau posita) Tuntutan yang dikehendaki oleh pihak penggugat (Petitum )
Identitas Para Pihak Nama Penggugat dan Tergugat; Umur
Penggugat Maupun Tergugat; Pekerjaan dari Penggugat dan Tergugat Tempat Tinggal
/ Domisili / Tempat Kedudukan Penggugat dan Tergugat,dll
Fundamentum Petendi atau posita Tentang Faktanya (kejadian
atau peristiwanya); Tentang Hukumnya
Tuntutan (Petitum ) Yaitu tentang apa yang dimintakan atau
diharapkan oleh pihak penggugat untuk diputuskan oleh hakim. Tuntutan harus
lengkap ,jelas dan sempurna,tuntutan yang tidak lengkap,jelas dan sempurna akan
berakibat tidak diterimanya tuntutan .
Tuntutan atau petitum Tuntutan pokok atau tuntutan primer Tuntutan
Pengganti atau tuntutan subsider Tuntutan Tambahan
Tuntutan pokok atau tuntutan primer Yaitu tuntutan yang
sifatnya pokok terkait dengan hubungan hukum yang terjadi di antara para pihak
yang harus dipenuhi oleh pihak tergugat sebagai bentuk prestasi tertentu.
Tuntutan Pengganti atau tuntutan subsider Yaitu tuntutan
yang diajukan oleh penggugat yang sifatnya adalah untuk menggantikan tuntutan
primer dalam hal nantinya tuntutan primer tidak dikabulkan oleh hakim. Tuntutan
subsider harus sebanding dengan tuntutan primer.
Tuntutan Tambahan Adalah tuntutan yang sifatnya menambah
tuntutan pokok atau tuntutan subsider,tuntutan tambahan dapat berupa: tuntutan
agar tergugat dihukum membayar beaya perkara; tuntutan agar tergugat dihukum
untuk membayar sejumlah bunga tertentu; tuntutan agar tergugat dihukum membayar
sejumlah uang paksa; dalam hal gugat cerai,sering disertai dengan tuntutan
tambahan atas nafkah istri,pembagian harta bersama,atau hak pengasuhan atas
anak; tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih
dahulu,meskipun ada upaya hukum perlawanan,banding maupun kasasi ( Uit voerbaar
bij vooraad )
Syarat-sayarat dapat dikabulkannya tuntutan Uit voebaar bij
voorraad (Pasal 180 HIR,Pasal 191 RBg ) antara lain : ada surat yang sah (autentik
titel ) apabila ada tulisan yang mempunyai kekuatan pembuktian apabila ada
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila dikabulkan suatu
tuntutan provisional dalam hal perselisihan tentang hak milik
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 06 Tahun 1975 tanggal
1 Desember 1975 Jo Surat Edaran Mahkamah Agung No.03 Tahun 1978 tanggal 1 April
1978, Mahkamah Agung meminta agar para hakim tidak menjatuhkan putusan Uit
Voerbaar bij voorraad,walaupun syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 180
ayat (1) HIR telah dipenuhi,kecuali dalam hal-hal yang tidak dapat dihindarkan
misalnya putusan yang sifatnya sangat eksepsional
putusan yang sifatnya sangat eksepsional putusan itu
diberikan apabila ada penyitaan conservatoir yang harga barangnya tidak cukup
untuk memenuhi gugatan jika dipandang perlu dapat dimintakan jaminan pada pihak
pemohon,yang berupa benda-benda jaminan yang mudah disimpan dan tidak boleh
menerima penanggung (borg) untuk menghindarkan masuknya pihak ketiga di dalam
proses.
Dalam Praktek Tuntutan tambahan sering juga dirumuskan dalam
bentuk yang beraneka ragam,sering juga dalam tuntutan tambahan ditambahkan
permintaan “ Mohon putusan yang seadil-adilnya dari hakim “ atau “ Agar Hakim
Mengadili Menurut Keadilan Yang Benar “ Dengan petitum tambahan yang demikian
itu diharapkan hakim dapat memutuskan secara bebas menurut nilai-nilai keadilan
dan hukum dalam hal petitum primer maupun sekunder tidak dikabulkan.
3.4. Penggabungan atau kumulasi tuntutan
Kumulasi/penggabungan subyektif Kumulasi /penggabungan obyektif
Kumulasi/penggabungan subyektif Yaitu kumulasi yang
menyangkut subyek-subyek yang ada dalam perkara yang sedang terjadi,misalnya
penggugatnya terdiri dari beberapa orang atau sebaliknya tergugatnya yang
terdiri dari beberapa orang tergugat atau penggugat maupun tergugatanya lebih
dari seorang
exception plurium litis consortium Yaitu eksepsi yang
menyatakan bahwa masih ada orang lain yang harus diikutkan sebagai pihak
tergugat dalam perkara yang diajukan oleh pihak penggugat.
Kumulasi /penggabungan obyektif Yaitu penggabungan tuntutan
yang menyangkut obyek tuntuan,dalam kumulasi ini penggugat mengajukan lebih
dari satu tuntutan dalam satu perkara secara sekaligus atas beberapa hubungan
hukum atau peristiwa hukum ,baik yang saling berhubungan satu sama lain maupun tidak
saling berhubungan.
Ada tiga hal yang tidak dimungkinkan adanya penggabungan
atau kumulasi secara obyektif Dalam hal tuntutan yang satu diperlukan acara
khusus (misalnya gugat cerai ) dan tuntutan yang satunya lagi harus diperiksa
dengan acara biasa (misalnya gugat utang piutang ); Dalam hal hakim tidak
wenang secara relative untuk memeriksa salah satu tuntutan yang digabung
bersama-sama dalam satu gugatan; 3. Tuntutan yang menyangkut tentang bezit
egendom atau penguasaan dan kepemilikan.
Kumulasi dan Konkursus Kumulasi harus dibedakan dengan “
Konkursus” yang merupakan kebersamaan adanya beberapa tuntutan hak yang
kesemuanya menuju pada satu akibat hukum yang sama,apabila satu tuntutan sudah
terpenuhi maka tuntutan lainnya juga sekaligus terkabulkan..
Berperkara dengan pihak ketiga Dengan cara campur tangan(
Intervensi ) Dengan cara penanggungan atau garansi ( Vrijwaring )
Dengan cara campur tangan ( Intervensi ) Intervensi
merupakan bentuk berperkara dengan pihak ketiga dengan cara masuknya pihak
ketiga dalam sengketa yang terjadi diantara pihak penggugat dan tergugat
didasarkan atas keinginan dan kemauan dari pihak ketiga itu sendiri
Dengan cara penanggungan atau garansi (Vrijwaring ) Dalam
Vrijwaring masuknya pihak ke tiga dalam sengketa yang terjadi di antara
penggugat dan tergugat berdasarkan keinginan dari penggugat atau tergugat yang
secara sengaja menarik pihak ke tiga masuk dalam sengketa mereka.
Bentuk Campur Tangan / Intervensi bersifat menyertai ( Voeging
), dalam intervensi ini pihak ke tiga yang masuk dalam sengketa antara
penggugat dan tergugat bersifat memihak untuk membela kepentingan salah satu
pihak yang bersengketa,yang lazimnya membela kepentingan dari pihak tergugat.
Dalam intervensi ini sesungguhnya pihak intervinin masuk dalam sengketa dengan
tujuan untuk membela hak-haknya sendiri dengan jalan membela salah satu pihak
yang bersengketa. Intervensi yang bersifat menengahi ( Tussenkomst ) , masuknya
pihak ketiga dalam sengketa berdiri di antara kepentingan penggugat dan
kepentingan tergugat,tujuan intervinin masuk dalam sengketa adalah untuk
mempertahankan hak dan kepentingan hukumnya sendiri ,guna mencegah timbulnya
kerugian atau kehilangan hak sebagai akibat adanya sengketa diantara penggugat
dan tergugat,sehingga perlu campur tangan dari pihak intervinin.
Bentuk Penanggungan / Garansi (Vrijwaring) Vrijwaring formil
yaitu apabila seorang diwajibkan untuk menjamin orang lain menikmati suatu hak
atau benda yang bersifat kebendaan dan semata-mata hanya menyangkut hak –hak
yang bersifat kebendaan. Vrijwaring sederhana atau garansi simple ini terjadi
apabila sekiranya tergugat dikalahkan dalam sengketa yang sedang berlangsung
mempunyai hak untuk menagih kepada pihak ke tiga ( penanggung ) dengan melunasi
hutangnya mempunyai hak untuk menagih kepada debitur
Penarikan pihak ketiga dengan vrijwaring dapat dilakukan
oleh tergugat sebelum tergugat memberikan jawabannya,sedang bagi penggugat sebelum
memberikan repliknya
3.5. Upaya-upaya Untuk Menjamin Hak
Macam-macam sita Jaminan atau Conservatoir beslag
Conservatoir beslag atas barang miliknya sendiri(milik penggugat atau pemohon )
Conservatoir Beslag atas barang milik debitur/tergugat/termohon
Conservatoir beslag atas barang miliknya sendiri Dalam sita
jaminan ini barang yang menjadi obyek penyitaan adalah barang milik dari pihak
penggugat atau pemohon sendiri yang dikuasai oleh pihak lain,dalam sita ini
tujuannya bukan untuk menjamin suatu tuntutan berupa tagihan uang atau
pembayaran sejumlah uang tertentu,akan tetapi lebih dimaksudkan hanya untuk
mejamin suatu hak kebendaan dari pemohon(penggugat) dan penyitaan akan berakhir
dengan diserahkan benda obyek penyitaan
Macam-macam Sita Jaminan atas Barang Sendiri Revindikatoir
beslag ; Sita Marital
Revindikatoir beslag Yaitu penyitaan yang dilakukan atas
permohonan pemilik barang bergerak yang ada di tangan pihak orang lain atau di
bawah kekuasaan orang lain (tergugat atau termohon ) secara lisan maupun secara
tertulis ke pengadilan negeri di tempat orang yang menguasai benda tersebut
bertempat tinggal Dalam permohonan sita revindikatoir tidak diperlukan adanya
alasan yang berupa praduga bahwa termohon ada etikat tidak baik untuk
mengalihkan barang dimaksud (Pasal 226 HIR )
Unsur-unsur Revindicatoir Beslag Obyek penyitaan harus
berupa barang bergerak; Barang bergerak tersebut merupakan barang milik
penggugat atau pemohon yang dikuasai oleh tergugat atau termohon;
Permintaan/permohonan harus diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang
wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon; Permohonan dapat diajukan
secara lisan maupun tertulis; Barang yang menjadi obyek penyitaan harus
diterangkan secara seksama dan terinci.
Sita Marital Sita Marital yaitu sita atas barang milik
sendiri yang terjadi dalam hal ada gugat cerai , sita ini dikenal dalam sistem
hukum acara untuk golongan orang Barat yang diatur dalam Pasal 823 a RV dan
seterusnya , sita marital dimohonkan oleh pihak istri terhadap harta bersama
yang dikuasai oleh suami, baik yang berupa barang bergerak maupun benda
tetap,tujuan dari penyitaan ini adalah untuk menjamin agar barang-barang yang
disita tidak jatuh atau dialihkan pada pihak ketiga.
Conservatoir Beslag atas barang milik
debitur/tergugat/termohon Bentuk penyitaan inilah yang merupakan bentuk
penyitaan yang sesungguhnya yang bersifat Conservatoir Beslag (CB) sebagimana
ditentukan dalam Pasal 227 HIR ayat (1) “Jika ada persangkaan yang
beralasan,bahwa orang yang berhutang sebelum dijatuhkan keputusan
kepadanya,atau sedang keputusan yang dijatuhkan kepadanya,belum dapat
dijalankan,berusaha akan menggelapkan atau akan mengankut barangnya ,baik yang
tetap maupun tidak tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih
hutang,maka ketua atas permohonan pihak yang berkepentingan untuk itu
(pemohon/penggugat) dapat memberikan perintah supaya barang itu disita untuk
menjaga hak pemohon……”.
Unsur-unsur Conservatoir Beslag pengajuan conservatoir
beslag harus ada alasan praduga bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau
dilaksanakan beritikat tidak baik untuk mengalihkan atau menggelapkan
barang-barangnya; barang yang menjadi obyek penyitaan adalah milik dari pihak
tergugat/termohon,bukan milik dari pihak penggugat atau pemohon; permohonan
Conservatoir Beslag diajukan pada ketua pengadilan negeri yang memeriksa
perkara yang bersangkutan; permohonan conservatoir beslag diajukan secara
tertulis; obyek penyitaan Conservatoir beslag dapat berupa benda bergerak,benda
tidak bergerak atau benda bergerak milik tergugat yang dikuasai oleh pihak ketiga.
Perbedaan Pokok antara Conservatoir Beslag dan Revindicatoir
Beslag : Obyek permohonan Conservatoir Beslag adalag benda bergerak maupun
benda tetap milik dari debitur/tergugat/termohon maupun benda bergerak milik
debitur/tergugat/termohon yang dikuasai oleh pihak ketiga,Sedangkan dalam
Revindikatoir Beslag obyek penyitaan adalah benda bergerak milik dari
penggugat/pemohon sendiri yang dikuasai oleh tergugat. dalam Conservatoir
Beslag permohonannya harus disertai adanya alasan yang berupa praduga adanya
itikat tidak baik dari pihak tergugat untuk mengalihkan /menggelapkan
barangnya, sedangkan dalam Revindikatoir Beslag alasan itu tidak diperlukan.
Permohonan atas Conservatoir Beslag diajukan dengan surat tertulis, Sedang
dalam Revindikatoir beslag dapat secara lisan maupun tertulis . Dalam
Conservatoir Beslag bertujuan untuk pembayaran sejumlah uang tertentu, sedang
dalam Revindicatoir Beslag bertujuan untuk penyerahan atas barang atau benda
yang menjadi obyek penyitaan.
Persamaan Conservatoir Beslag dan Revindicatoir Beslag :
Sama- sama untuk menjamin tuntutan dalam hal tuntutan dikabulkan; dapat
dinyatakan syah dan berharga apabila gugatan dikabulkan dan pengajuannya
memenuhi syarat berdasar undang-undang; dalam hal gugatan ditolak atau
dinyatakan tidak dapat diterima,maka Conservatoir Beslag maupun Revindicatoir
Beslag akan diperintahkan untuk diangkat, hal ini ditegaskan dalam Pasal 227
ayat (4) “ Jika gugatan itu diterima,maka penyitaan itu disahkan,jika itu
ditolak maka diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu
IV. PROSES PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
4.1. Pencabutan dan Perubahan Gugatan Pencabutan gugatan
pada prinsipnya diperbolehkan,pencabutan gugatan dapat dilakukan oleh
penggugat,perkara mau dilanjutkan atau tidak sesungguhnya menjadi hak dan
kewenangan dari para pihak sendiri. Pencabutan gugatan dapat dilakukan :
Sebelum pihak tergugat memberikan jawaban dan; sesudah pihak tergugat
memberikan jawabannya
Pencabutan Gugatan Sebelum Tergugat Memberikan Jawaban
Gugatan dapat dicabut begitu saja oleh pihak penggugat tanpa perlu mendapatkan
ijin atau persetujuan dari pihak tergugat Terhadap gugatan yang dicabut sebelum
ada jawaban,dikemudian hari apabila penggugat berkeinginan untuk mengajukan
gugatannya kembali masih dimungkinkan.
pencabutan gugatan dilakukan setelah pihak tergugat
memberikan jawaban Pencabutan Surat Gugatan harus mendapatkan persetujuan dari
pihak tergugat. Dalam hal tida mendapatkan persetujuan dari pihak tergugat maka
pencabutan tidak dapat dilakukan. Gugatan yang dicabut setelah ada jawaban dari
pihak tergugat,maka bagi penggugat dikemudian hari sudah tidak dapat mengajukan
gugatannya kembali,oleh karena penggugat sudah dianggap melepaskan hak-haknya
secara suka rela terhadap pihak tergugat.
Penambahan dan perubahan gugatan Penambahan atau perubahan
gugatan pada prinsipnya juga diperbolehkan,HIR tidak mengatur tentang masalah
penambahan dan perubahan gugatan,termasuk hal apa yang boleh dan tidak boleh
untuk ditambah atau dirubah. Dalam praktek perubahan dan penambahan diperbolehkan
sepanjang tidak merugikan para pihak khususnya kepentingan pihak tergugat dan
penambahan atau perubahan tersebut tidak menambah atau merubah tentang pokok
perkaranya.
4.2. Putusan Gugur,Verstek dan Putusan Damai
Putusan Gugur Adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim
diluar hadirnya pihak penggugat atau wakilnya pada sidang yang pertama
sekalipun yang bersangkutan sudah dilakukan pemanggilan secara benar,syah dan
patut untuk hadir di muka sidang pengadilan pada waktu yang sudah ditentukan
Pasal 124 HIR “ Jikalau sipenggugat,walaupun dipanggil
dengan patut,tidak menghadap pengadilan negeri pada hari yang ditentukan itu
dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya,maka gugatannya
dipandang gugur dan sipenggugat dihukum membayar biaya perkara;akan tetapi
sipenggugat berhak,sesudah membayar biaya yang tersebut,memasukkan gugatannya
sekali lagi
Pemanggilan benar,syah dan patut Pemanggilan dilakukan dan
diberikan secara langsung pada yang bersangkutan atau wakilnya di tempat
tinggal atau domisilinya. Dalam hal panggilan tidak dapat diberikan secara
langsung pada yang bersangkutan maka surat panggilan disampaikan melalui kepala
desa atau lurah di tempat tinggal yang bersangkutan Dalam hal tempat tinggal
atau domisili yang bersangkutan tidak diketahui atau tidak dikenal maka surat
panggilan harus ditempel di kantor pengadilan yang bersangkutan dan di kantor
wali kota atau bupati.
Pemanggilan Benar,Syah dan Patut Surat panggilan harus
memperhatikan masa tenggang waktu yang patut antara diterimanya pemanggilan
dengan waktu sidang,sekurang-kurangnya panggilan disampaikan tiga hari kerja
sebelum sidang dimulai. Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dan dibuatkan
berita acara pemanggilan pihak-pihak. Di dalam praktek biasanya pemanggilan
akan dilakukan oleh pengadilan pada para pihak dua kali berturut-turut,baru
kalau pemanggilan kedua tidak hadir juga dapat dijatuhkan putusan gugur
Putusan Verstek( Pasal 125 HIR ) Jika sitergugat,walaupun
sudah dipanggil dengan patut tidak menghadap pada hari yang ditentukan ,dan
tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya,maka gugatan itu
diterima dengan putusan tak hadir,kecuali jika nyata kepada pengadilan
negeri,bahwa gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan Akan tetapi jika
sitergugat dalam surat jawabannya mengajukan perlawanan (tangkisan) bahwa
pengadilan negeri tidak berhak menerima perkara itu,hendaklah pengadilan
negeri,walaupun si tergugat sendiri atau wakilnya tidak menghadap,sesudah
didengar sipenggugat,mengadili perlawanannya dan hanya kalau perlawanannya itu
ditolak,maka putusan dijatuhkan mengenai pokok perkara.
Putusan Verstek Jika gugatan diterima,maka putusan
pengadilan negeri dengan perintah ketua diberitahukan kepada orang yang
dikalahkan,dan serta itu diterangkan kepadanya bahwa ia berhak dalam waktu dan
dengan cara yang ditentukan dalam Pasal 129,mengajukan perlawanan terhadap
putusan tak hadir itu pada majelis pengadilan itu juga Di bawah keputusan tak
hadir itu panitera pengadilan mencatat,siapa yang diperintahkan menjalankan
pekerjaan itu dan pakah diberitahukannya tentang hal itu baik dengan surat
maupun dengan lisan.
Syarat-syarat putusan verstek yang mengabulkan gugatan
(Pasal 125 ayat (1) HIR : Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang
pada hari sidang pertama yang telah ditentukan; Tidak menyuruh wakilnya untuk
datang pada sidang yang pertama; Telah dilakukan pemanggilan secara benar,sah
dan patut; Petitum tidak melawan hak; Petitum beralasan
verszet (Perlawanan ) Terhadap putusan Verstek yang isinya
mengabulkan gugatan pihak tergugat dapat mengajukan verszet (Perlawanan ) pada
pengadilan negeri yang telah memutus putusan verszet tersebut.
Tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan Dalam waktu 14
hari setelah putusan verstek diberitahukan kepada pihak yang dikalahkan itu
sendiri Sampai hari kedelapan setelah teguran seperti yang dimaksud dalam Pasal
196 HIR,apabila yang ditegur tidak datang menghadap Kalau tidak datang waktu
ditegur,sampai hari kedelapan setelah sita eksekutorial (197 HIR ).
Upaya Banding Atas Putusan Verstek Terhadap putusan verstek
yang isinya menolak gugatan,bagi pihak penggugat dapat mengajukan upaya hukum
banding ke pengadilan tinggi berdasarkan ketentuan tentang upaya hukum banding
Putusan Damai Putusan Damai adalah putusan pengadilan yang
dijatuhkan oleh hakim berdasarkan hasil perdamaian para pihak yang telah
disepakati dalam akta perdamaian Putusan damai bersifat menghukum kedua belah
pihak untuk mematuhi dan mentaati isi perdamaian yang telah disepakati oleh
penggugat dan tergugat
Perdamaian Di Luar Sidang Perdamaian yang dilakukan di luar
sidang ,berlakunya bagi para pihak tidak beda halnya dengan perjanjian pada
umumnya,perdamaian mengikat seperti halnya undang - undang bagi penggugat
maupun tergugat dan sifat berlakunya mengikat dengan etikat baik.
Perdamaian Di Dalam sidang Perdamaian yang dilakukan di
dalam sidang (akta perdamaian) yang dikuatkan dalam bentuk putusan
damai,mempunyai kekuatan hukum seperti putusan pengadilan yang sudah memiliki
kekuatan hukum yang tetap(in kracht van gewijsde ) mempunyai kekuatan mengikat
dan memaksa bagi para pihak,putusan damai bersifat final and binding .
Jawaban Tergugat dan Gugat Balik (Rekonvensi) Jawaban yang
tidak secara langsung mengenai pokok perkara berupa tangkisan atau eksepsi Jawaban
yang menyangkut pokok perkara ( verweer ten principale )
Tangkisan(Eksepsi) eksepsi prosesuil (processueel ) yaitu
eksepsi yang menyangkut acara pemeriksaan perkara di pengadilan (Eksepsi yang
diatur dalam HIR) eksepsi berdasar hukum material yaitu eksepsi yang sudah
masuk dalam materi gugatan atau sudah menyangkut pokok perkara (diatur dalam
ketentuan RV)
eksepsi prosesuil (processueel ) Eksepsi tentang ketidak
wenangan hakim dalam memeriksa suatu perkara tertentu ,baik menyangkut
kopetensi absulut maupun relative. Eksepsi bahwa hakim telah melanggar asas
nebis in idem. Eksepsi bahwa perkara yang sama sedang diperiksa oleh pengadilan
negeri yang lain. Eksepsi bahwa perkara sedang diperiksa oleh pengadilan
banding atau kasasi. Eksepsi bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai
kualifikasi / sifat untuk bertindak di muka pengadilan.
eksepsi berdasar hukum material eksepsi delatoir yaitu
eksepsi yang menyatakan,bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan,misalnya
karena penggugat telah memberikan penundaan pembayaran dan sebagainya. eksepsi
peremptoir adalah eksepsi yang bersifat menghalangi dikabulkannya
gugatan,misalnya gugatan yang diajukan sudah lampau waktu, atau bahwa utang
yang menjadi dasar gugatan telah dihapuskan.
Jawaban Yang Menyangkut Pokok Perkara menolak gugatan baik
sebagian maupun seluruh gugatan / tuntutan mengakui gugatan/tuntutan baik
sebagian maupun seluruhnya dengan alasan pertama dan kedua diikuti adanya gugat
balik (rekonvensi ). menolak gugatan baik sebagian maupun seluruh gugatan /
tuntutan mengakui gugatan/tuntutan baik sebagian maupun seluruhnya dengan
alasan pertama dan kedua diikuti adanya gugat balik (rekonvensi ). menolak
gugatan baik sebagian maupun seluruh gugatan / tuntutan mengakui
gugatan/tuntutan baik sebagian maupun seluruhnya dengan alasan pertama dan
kedua diikuti adanya gugat balik (rekonvensi ).
Gugat Rekonvensi (Gugat Balik) Gugat balik atau Rekonvensi
diajukan oleh tergugat terhadap penggugat secara bersama-sama dalam memberikan
jawabannya,sebelum proses pembuktian dilakukan. Gugat balik atau Rekonvensi
pada dasarnya dapat diajukan dalam segala perkara yang secara langsung terkait
dengan para pihak
Gugat Rekonvensi Yang Tidak Diperbolehkan (Pasal 132 a HIR )
apabila dalam gugat konvensi (gugat asal ) penggugat bertindak sebagai suatu
kualitas tertentu atau berdasarkan sifatnya,sedang dalam gugat balik
(Rekonvensi )menyangkut diri pribadi dari penggugat atau sebaliknya. Contohnya
dalam gugat konvensi penggugat pertindak sebagai wali ,orang tua atau pengampu,
maka dalam gugat balik tidak boleh ditujukan pada penggugat secara pribadi.
Jika pengadilan negeri yang memeriksa gugat konvensi secara absulut tidak
wenang memeriksa gugat balik (Rekonvensi). Dalam perkara sengketa pelaksanaan
putusan Dalam hal pada pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugat
rekonvensi,maka pada tingkat banding tidak boleh ada gugat rekonvensi. Dalam
hal perkara yang menyangkut bezit dan egendom atau penguasaan dan kepemilikan.
Keuntungan adanya Gugat Balik ( Rekonvensi ) menghemat biaya
mempermudah pemeriksaan perkara mempercepat proses penyelesaian sengketa
menghindarkan terjadinya putusan yang saling bertentangan.
4.4. Proses Pembuktian dan Macam-macam Alat Bukti Dalam
perkara perdata para pihak sendirilah,baik penggugat maupu tergugat yang harus
membuktikan kebenaran dari dalil-dalail yang diajukan baik dalam gugatan maupun
dalam jawaban. Tugas hakim adalah memberikan penilaian apakah dalil-dalil yang
diajukan oleh para pihak dapat diterima berdasarkan pembuktian yang diajukan.
Yang harus dibuktikan oleh para pihak adalah peristiwa yang disengketakan dan
tidak semua peristiwa harus dibuktikan
Peristiwa Yang Tidak Perlu Dibuktikan karena memang
peristiwanya tidak perlu untuk dibuktikan atau diketahui atau dianggap tidak
mungkin untuk diketahui oleh hakim. Misalnya dalam hal dijatuhkan putusan
verstek,dalam hal gugatan diakui oleh tergugat,dalam hal ada sumpah penentu
atau dalam hal bantahan kurang cukup. Karena memang peristiwanya secara ex
officio dianggap dikenal atau diketahui oleh hakim. Misalnya terhadap
peristiwa-peristiwa notoir atau peristiwa yang sudah diketahui oleh
umum,peristiwa-peristiwa yang terjadi selama persidangan. Karena menyangkut
pengetahuan tentang pengalaman yang diperoleh berdasarkan pengetahuan umum.
Presented
Pengertian Pembuktian Pembuktian dakam arti yang logis,kata
membuktikan berarti memberikan kepastian yang absulut kebenarannya sehingga
pembuktian yang sebaliknya sudah tidak dimungkinkan,pembuktian ini biasanya
didasarkan pada suatu aksioma tertentu yang pasti. Pembuktian dalam arti yang
konvensionil,membuktikan adalah memberikan kepastian,hanya kepastiannya bukan
kepastian yang absulut melainkan kepastian yang bersifat relative. Pembuktian
dalam arti yuridis,membuktikan dalam ari yuridis adalah pembuktian yang
bersifat konvensionil dalam arti yang khusus,yaitu bahwa pembuktian dalam arti
yuridis kebenarannya hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa saja dan
tidak berlaku bagi orang lain.
Membuktikan dalam arti yuridis adalah memberikan kepastian
dasar yang cukup pada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna
mendapatkan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para
pihak.
Beban Pembuktian adalah menyangkut pertanyaan siapa yang
harus terlebih dahulu diberikan kesempatan untuk melakukan pembuktian atas
peristiwa yang disengketakan, apakah pihak penggugat atau pihak tergugat.
Persoalan pembuktian merupakan persoalan adil tidak adil,persoalan fair tidak
fair,oleh karena itu pembagian beban pembuktian merupakan persoalan yang tidak
mudah bagi hakim,karena hakimlah yang harus membagi dan menentukan siapa yang
harus membuktikan.
Asas Umum Beban Pembuktian diatur dalam Pasal 163 HIR,Pasal
283 RBg,Pasal; 1865 BW,yang menyatakan “ Barang siapa menyatakan mempunyai
suatu hak atau menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk
membantah adanya hak orang lain,maka orang itu harus membuktikan adanya hak
atau peristiwa itu
Ketentuan Khusus Tentang Beban Pembuktian Pasal 533 BW
“orang yang menguasai barang tidak perlu membuktikan adanya itikad
baiknya,siapa yang mengemukakan adanya itikad tidak baik harus membuktikan “
Pasal 535 “ Kalau seseorang sudah memulai menguasai sesuatu untuk orang lain
,maka selalu dianggap meneruskan penguasaan tersebut ,kecuali apabila terbukti
sebaliknya” Pasal 1244 “ Kreditur dibebaskan dari pembuktian kesalahan dari
debitur dalam hal adanya wanprestasi
Teori Beban Pembuktian Teori pembuktian yang bersifat
menguatkan belaka ( bloot affirmatief ) ----- menurut teori ini,maka pihak yang
harus membuktikan adalah pihak yang mengemukakan adanya sesuatu bukan pihak
yang mengingkarinya. Teori hukum subyektif ----------- berdasarkan teori ini
suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau
bertujuan mempertahankan hukum subyektif dan pihak yang mengemukakan adanya
sesuatu hak harus membuktikan. Teori Hukum Acara --------- berdasarkan teori
ini maka beban pembuktian didasarkan pada kesamaan kedudukan antara penggugat
dan tergugat,sehingga dalam membagi beban pembuktian harus didasarkan pada
nilai keadilan,keseimbangan dan nilai kepatutan bagi para pihak.
Teori Beban Pembuktian Berdasarkan beberapa teori tersebut
di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pembagian beban pembuktian hakimlah yang
mempunyai peranan menentukan siapa yang harus membuktikan dan bagaimana
pembagiannya secara adil bagi para pihak. Di dalam praktek pembagian beban
pembuktian dipandang adil dan patut, kalau pihak yang dibebani pembuktian
adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika disuruh untuk membuktikan.
Macam-macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya Dalam
hukum acara perdata dikenal adanya beberapa macam alat bukti ( Pasal 164 HIR
atau Pasal 284 RBg ) : alat bukti surat atau tertulis alat bukti saksi alat
bukti persangkaaan (vemoedens, praesumptiones ) alat bukti pengakuan alat bukti
sumpah.
Alat Bukti Surat atau Tertulis adalah alat bukti yang
berbentuk sesuatu apapun yang memuat tanda-tanda bacaan yang berupa pencurahan
isi hati atau buah pikiran seseorang yang dapat digunakan untuk membuktikan
adanya suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum tertentu.
Macam-Macam Alat Bukti Surat alat bukti surat yang berupa
surat biasa atau bukan akta; alat bukti surat yang berbentuk akta
Surat Biasa adalah surat yang pembuatannya tidak dimaksudkan
sebagai alat pembuktian atas suatu peristiwa atau perbuatan hukum
tertentu,kalau kemudian dijadikan alat bukti semata-mata karena adanya
kepentingan yang menghendaki dan sifatnya kebetulan saja.
Akta adalah surat yang diberi tandatangan yang memuat
peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau perikatan yang
dibuat secara sengaja sejak semula untuk kepentingan pembuktian atas peristiwa
atau perbuatan hukum yang tercantum di dalamnya.
Dokumen (UU No.13/1985) kertas yang berisikan tulisan yang
mengandung arti dan maksud tentang perbuatan,keadaan atau kenyataan bagi
seseorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan. Dari pengetian tentang
dokumen seperti tersebut ,jelas bahwa surat,baik surat biasa maupun akta
merupakan dokumen.
Tanda Tangan adalah pembubuhan nama dari si pembuat atau si
penandatangan,berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang bea meterai No.13
tahun 1985 Tandatangan -------adalah “Sebagimana lazimnya dipergunakan,termasuk
pula paraf teraan atau cap tandatangan atau cap paraf teraan cap nama atau
tanda lainnya sebagai pengganti tandatangan “ Dipersamakan dengan tandatangan
adalah sidik jari atau cap jempol yang sudah di “ waarmerking “ oleh notaries
atau pejabat lain yang diberi kewenangan untuk itu .
Pasal 2 ayat (1) UU No.13/1985 Tentang Bea Meterai Alat
bukti surat wajib dibubuhi metarai Meterai berfungsi sebagai bentuk kewajiban
pembayaran pajak bea meterai Untuk dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah
di muka pengadilan sebagai akta Putusan MA tanggal 13 Maret 1971 No.589 K
/SIP/1970 berpendapat bahwa surat bukti yang tidak dibubuhi meterai tidak
merupakan alat bukti yang sah Bukti surat yang sejak semula belum dibubuhi
meterai dapat dimintakan pemeteraian kemudian ( Nazegeling) pada pejabat kantor
pos
Macam-macam Akta Akta di bawah tangan Akta otentik
Akta Di Bawah Tangan Akta yang sengaja dibuat oleh para
pihak sediri tanpa bantuan seorang pejabat dengan tujuan untuk pembuktian atas
suatu peristiwa atau hubungan hukum tertentu Akta di bawah tangan yang memuat
hutang sepihak wajib ditulis tangan sendiri oleh pembuatnya,atau
setidak-tidaknya tentang keterangan yang menguatkan jumlah atau besarnya atau
banyaknya yang harus dipenuhi ditulis sendiri dengan huruf seluruhnya
Kekuatan Pembuktian Akta Kekuatan pembuktian akta sebagai
alat bukti di pengadilan dapat dilihat dari: Kekuatan pembuktian Lahir;
Kekuatan pembuktian Formil; Kekuatan pembuktian material
Kekuatan Pembuktian Lahir Akta Di Bawah tangan Akta di bawah
tangan tidak memiliki kekuatan lahir; Tandatangan akta di bawah tangan dapat
diakui dapat juga diingkari oleh pembuatnya Akta di bawah tangan yang diakui
tandatangannya oleh para pihak yang membuat menjadikan akta di bawah tangan
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna; Dalam hal tandatangan para pihak
diingkari,maka kebenaran akta harus diperiksa kebenarannya.
Kekuatan Pembuktian Formil akta Di Bawah tangan Akta di
bawah tangan yang diakui tandatangannya memiliki kekuatan pembuktian formil;
Telah memberikan kebenaran bahwa keterangan atau pernyataan dalam akta adalah
keterangan atau pernyataan dari si penandatangan.
Kekuatan Pembuktian Materiil Akta Di Bawah Tangan Akta di
bawah tangan yang sudah diakui tandatangannya memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna seperti akta otentik; Isi keterangan di dalam akta di bawah tangan
yang sudah diakui tandatangannya secara materiil dianggap benar bagi para
pembuatnya dan pihak-pihak yang diuntungkan dari akta tersebut.
Akta Otentik Akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi
wewenang untuk itu oleh penguasa berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku,baik dengan bantuan maupun tidak dari pihak yang berkepentingan,dengan
mencatat apa yang dimntakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan;
Suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk
itu,merupakan bukti yang lengkap (sempurna) antara para pihak dan para ahli
warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum di
dalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan
belaka,akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu
erat hubunannya dengan pokok dari akta ( Pasal 165 HIR,Pasal 285 RBg,Pasal 1868
BW)
Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Akta otentik memiliki
kekuatan pembuktian yang lengkap atau sempurna bagi para pihak yang
membuat,ahli waris dan pihak ketiga yang mendapatkan hak dari akta yang
bersangkutan; Jika tidak ada bukti yang sebaliknya dan sebanding ,maka akta
otentik selalu dianggap benar isinya tanpa pembuktian lebih lanjut. Terhadap
pihak ketiga akta otentk merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan
pembuktian yang bebas dan penilaiannya diserahkan pada pertimbangan hakim; Akta
otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahir,formil maupun kekuatan pembuktian
materiil
Alat Bukti Keterangan Saksi Keterangan saksi adalah
keterangan yang diberikan oleh pihak ketiga di luar pihak-pihak yang
bersengketa yang diberikan secara lisan,langsung dan pribadi di muka sidang
pengadilan tentang apa yang dilihat,didengar,dialami atau dia ketahui atau dia
rasakan terhadap suatu peristiwa,kejadian atau perbuatan hukum tertentu.
Kesaksian bukan merupakan kesimpulan atau pendapat atau dugaan dari seseorang.
pada asasnya pembuktian dengan saksi dapat dipakai dalam segala perkara perdata
,kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 1895 BW,Pasal 139 HIR) Keterangan
yang diperoleh dari pihak ketiga (Testimonium de auditu) bukan merupakan
keterangan saksi. Seorang Saksi bukanlah saksi ( Unus testis nullus testis)
keterangan dari seorang saksi saja tanpa alat bukti yang lain dianggap tidak
cukup dan tidak boleh dijadikan dasar putusan hakim.
Unsur-unsur Keterangan Saksi Keterangan saksi diberikan oleh
pihak ketiga; Keterangan diberikan secara langsung,lisan dan pribadi di dalam
sidang; Keterangan yang diberikan merupakan peristiwa,kejadian atau perbuatan
yang dilihat,didengar,dialami atau dirasakan sendiri;
Kekuatan Pembuktian Saksi Kekuatan Pembuktian Keterangan
Saksi mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas,artinya hakim mempunyai
kebebasab untuk menilai apakah keterangan saksi itu dapat dipecaya atau tidak
sangat tergantung pada penilaian hakim
Parameter Penilaian Keterangan Saksi(172 HIR) Kesesuaian
atau kecocokan antara keterangan saksi yang satu dengan yang lainnya Kesesuaian
keterangan saksi dengan apa yang diketahui dari segi lain tentang perkara yang
disengketakan Pertimbangan yang mungkin ada pada saksi untuk memberikan
keterangan kesaksiannya,misalnya cara hidup,adat istiadat,serta martabat saksi
atau segala seuatu yang munkin dapat mempengaruhi tingkat kejujuran dari saksi
Testimonium de auditu Keterangan yang diperoleh dari pihak
ketiga bukan merupakan keterangan saksi.
Unus testis nullus testis Seorang Saksi bukanlah saksi ,
keterangan dari seorang saksi saja tanpa alat bukti yang lain dianggap tidak
cukup dan tidak boleh dijadikan dasar putusan hakim.
Golongan Orang Yang Dianggap Tidak Mampu Menjadi saksi
Golongan orang yang tidak mampu secara mutlak (hakim dilarang mendengar mereka
sebagai saksi) a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut garis keturunan
yang lurus dari salah satu pihak; b. Sumi istri dari salah satu pihak ,meskipun
sudah bercerai. Golongan orang yang tidak mampu secara relatif (nisbi): a.
anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun; b. orang-orang yang sakit
ingatannya.
Alasan Bagi Golongan Yang Secara Absulut Tidak Dapat Menjadi
Saksi Pihak- pihak ini pada umumnya dianggap kurang obyektif apabila didengar
keterangannya sebagai saksi; untuk menjaga hubungan kekeluargaan agar tetap
baik di antara para pihak; untuk mencegah timbulnya tekanan batin setelah
memberikan keterangan sebagai saksi. Pihak-pihak seperti tersebut,dalam perkara
tertentu masih dimungkinkan untuk menjadi saksidan mereka tidak berhak untuk
mengundurkan diri sebagai saksi,terutama dalam perkara yang menyangkut
kedudukan keperdataan dari para pihak atau dalam perkara yang menyangkut
tentang perjanjian kerja ( Pasal 145 ayat (2) HIR )
Golongan Orang Yang Memiliki Hak Ingkar Untuk Menjadi Saksi
segolongan orang yang atas permintaannya sendiri dapat dibebaskan dari
kewajiban untuk menjadi saksi (Hak ingkar / Verschoningrecht) : Saudara
laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu
pihak; Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan
perempuan dari pada suami atau istri salah satu pihak; Semua orang yang karena
martabat,jabatan atau hubungan kerja yang sah diwajibkan mempunyai rahasia.
Kewajiban Saksi Kewajiban untuk menghadap; Kewajiban untuk
bersumpah; Kewajiban untuk memberikan keterangan dengan benar.
Sanksi Bagi Saksi Yang Tidak Mau Menghadap Dapat dipaksa
untuk menghadap Dapat dihukum untuk membayar biaya pemanggilan Dapat dikenakan
penyanderaan (gijzeling)
Alat Bukti
Persangkaan Persangkaan merupakan alat bukti yang bersifat tidak langsung.
Persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim
ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke peristiwa lain yang belum
terang kenyataannya ( Pasal 1915 BW )
Persankaan Persangkaan berdasarkan undang-undang atau hukum
(Praesumptiones juris); Persangkaan yang merupakan kesimpulan hakim atau
persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta ( Praesumtiones facti )
Persangkaan Berdasar Hukum/Undang-undang Persangkaan yang
telah diberikan oleh undang-undang sendiri yang menetapkan hubungan antara
peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak
diajukan Praesumptiones juris Tatum,yaitu persangkaan berdasarkan undang-undang
yang masih dimungkinkan ada bukti lawan. Contoh : Pasal 633 BW tentang tembok
batas, Pasal 658 BW tentang parit atau selokan batas, Pasal 1394 tentang 3
Kuitansi pembayaran sewa Praesumptiones juris et de jure, yaitu persangkaan
berdasarkan undang-undang yang tidak mungkin ada bukti lawan. Contoh : Semua
peristiwa yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan perbuatan-perbuatan tertentu
( Pasal 184,911,1681 BW)
Persangkaan Berdasarkan Kenyataan ( Praesumptiones Facti )
Pada persangkaan berdasarkan kenyataan,hakimlah yang memmutuskan berdasarkan
kenyataannya,apakah mungkin dan sampai berapa jauhkah kemungkinannya untuk
membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan membuktikan peristiwa lain.
Persangkaan berdasarkan fakta,hanya boleh diperhatikan oleh hakim pada waktu
menjatuhkan putusan apabila persangkaan itu bersifat :PENTING,SAKSAMA,TERTENTU
dan ada HUBUNGANNYA SATU SAMA LAIN
Alat Bukti Pengakuan Keterangan dari salah satu pihak dalam
satu pekara,dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan ,baik
sebagian atau keseluruhan adalah benar. Pengakuan merupakan alat bukti yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Macam-macam Pengakuan Pengakuan Murni; Pengakuan dengan
kualifikasi; Pengakuan dengan klausula
Alat Bukti Sumpah Sumpah Pelengkap (Suppletoir); Sumpah
Penaksiran ( aestimatoir); Sumpah Pemutus/Penentu (dicisoir)
Putusan Hakim Suatu pernyataan hakim yang diucapkan di
persidangan karena jabatannya yang dimaksudkan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak.
Kekuatan Putusan Hakim Kekuatan Mengikat; Kekuatan Pembuktian
Kekuatan eksekutorial
Susunan dan Isi Putusan Kepala Putusan; Identitas Para
Pihak; Pertimbangan (Konsideran); Amar Putusan ( Diktum)
Jenis Putusan Hakim( Pasal 185 ayat 1 HIR ) Putusan akhir;
Bukan putusan akhir
Sifat Putusan Akhir Putusan yang bersifat menghukum
(condemnatoir) Putusan yang bersifat menciptakan (constitutif) Putusan yang
bersifat menerangkan / menyatakan (declaratoir)
Putusan Condemnatoir Putusan yang bersifat menghukum pihak
yang dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi tertentu Dalam putusan
condemnatoir diakui adanya hak penggugat atas prestasi yang dituntut Prestasi
yang timbul karena adanya perikatan maupun karena undang-undang Bentuk
perkaranya berupa gugatan Contoh: Putusan hakim yang menghukum penggugat untuk
membayar sejumlah uang tertentu sebagai pokok hutang, bunga, dll.
Putusan Constitutif Putusan yang bersifat meniadakan atau
menciptakan suatu keadaan hukum yang baru Putusan constitutif tidak memerlukan
eksekusi. Bentuk perkaranya permohonan contoh : Putusan perceraian,pengangkatan
wali,pengangkatan pengampu,pernyataan pailit
Putusan Declaratoir Putusan yang isinya bersifat menerangkan
atau menyatakan apa yang sah atas suatu peristiwa atau hubungan hukum tertentu.
Putusan declaratoir tidak memerlukan eksekusi. Bentuk perkaranya permohonan.
Contoh : Sengketa tentang keabsahan seorang anak, penetapan ahli waris,
menetapkan sahnya suatu perjanjian dll
Upaya Hukum Upaya Hukum Biasa, adalah upaya hukum yang dapat
digunakan oleh para sebelum putusan memiliki kekuatan hukum yang tetap (
inkracht van gewijsde ) Upaya hukum Luar Biasa / Istimewa, adalah upaya hukum
yang dapat digunakan oleh para pihak terhadap putusan yang sudah memiliki
kekuatan hukum tetap. Presented By MasKertanegara
Upaya Hukum Biasa Perlawanan ( Verzet ) Banding Kasasi
Upaya Hukum Verzet Verzet atau perlawanan merupakan upaya
hukum yang dapat digunakan oleh tergugat yang dikalahkan dalam putusan di luar
hadir ( Putusan Verstek ) Bagi penggugat dalamputusan verstek upaya hukum yang
dapatdigunakan adalah banding.
Upaya Hukum Banding
Dasar hukumnya Undang-undang No.20 Tahun 1947 untuk Jawa dan Madura dan Pasal
199-205 RBg Untuk luar Jawa dan Madura Permohonan banding wajib diajukan dalam
jangka waktu 14 hari terhitung mulai hari berikutnya sejak putusan diberitahunan
pada para pihak
.Banding Pada pihak lawan selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 14 hari sejak diterimanya permohonan banding harus diberitahu tentang
adanya permohonan banding tersebut. Dalam jangka waktu 14 hari para pihak
diberikan kesempatan untuk melihat berkas-berkas banding
Memori Banding Pada pihak pemohon banding diperbolehkan
mengajukan memori banding Pada pihak termohon banding diperbolehkan mengajukan
kontra memori banding Memori dan kontra memori banding bukan hal yang diwajibkan
Bentuk Putusan Banding Bersifat menguatkan putusan
pengadilan negeri; Bersifat memperbaiki putusan pengadilan negeri; Bersifat
membatalkan putusan pengadilan negeri.
Upaya Hukum Kasasi Semua putusan yangdiberikan dalam tin
gkat akhir oleh pengadilan lain daripada Mahkamah Agung dapat dimintakan
kasasi; Permohonan kasasi diajukan melalui panitera pengadilan negeri yang
memutus pokok perkara yang dimintakan kasasi
Kasasi Permohonan kasasidapat diajukan secara lisan
maupuntertulis; Permohonan kasasi dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 hari
kerja sesudah putusan atau penetapan yang dimaksud diberitahukan kepada pemohon
( Pasal 46 UU No.14/1985)
Kasasi Dalam tenggang waktu 14 hari sejak permohonan kasasi
didaftarkan, pemohon wajib menyampaikan memori kasasi ( Pasal 47 UU No. 14 /
1985) Tidak dipenuhinya tenggang waktu permohonan maupun penyampaian memori
kasasi , permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima
Kasasi Memori kasasi wajib mencantumkan dasar alasan
permohonan kasasi. Pihak termohon kasasi berhak mengajukan jawaban terhadap
memori kasasi dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan
memori kasasi { Pasal 14 ayat (3) UU No.14 /1985 }
Alasan Permohonan Kasasi (Pasal 30 UU No 14/1985) Hakim
tidak wenang atau melampaui batas wewenang; Hakim salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku; Hakim lalai memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kebatalan putusan;
Alasan kasasi Putusan hakim tidak cukup atau kurang lengkap
dipertimbangkan ( Yurisprudensi MA No.492 K/SIP/1970
Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali ( Request Civil )
Perlawanan Pihak Ketiga ( Derden Verzet )
Peninjauan Kembali Peninjau adalah upaya hukum luar biasa
yang dapat digunakan oleh para pihak dalam hal upaya hukum biasa sudah tertutup
dan putusan sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap Permohonan peninjauan
kembali dapat diajukan secara tertulis maupun lisan; Dalam waktu 14 hari
setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama
menerima permohonan PK, maka panitera mengirimkan salinan PK pada pihak lawan;
Peninjauan Kembali Permohonan PK tidak menunda pelaksanaan
putusan MA memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan
terakhir
Alasan Peninjauan Kembali Apabila putusan didasarkan pada
tipu muslihat atau kebohongan atau di dasarkan pada bukti palsu; Apabila
setelah perkara diputus ditemukan bukti-bukti baru yang bersifat menentukan;
Apabila telah dikabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau melebihi dari yang
dituntut; Apabila ada bagian yang dituntut yang tidak diputus tanpa
dipertimbangkan sebabnya; Apabila ada putusan yang saling bertentangan; Apabila
dalam putusan ada kekilafan hakim yang nyata.
Jangka Waktu PK ( Pasal 69 UU No 14 /1985 Jangka waktu
pengajuan PK adalah `180 hari untuk: 1. untuk alasan pertama sejak diketahui
kebohongan atau tipu muslihat, atau untuk putusan pidana sejak putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap. 2. untuk alasan kedua sejak ditemukannya bukti
baru yang menentukan; 3. untuk alasan ketiga, keempat dan enam sejakputusan
memperoleh kekuatan tetap dan telah diberitahukan pada para pihak; 4. untuk
alasan terakir sejak putusan terakhir yang bertentangan memperoleh kekuatan
hukum tetap
Pelaksanaan Putusan Putusan yang memerlukan eksekusi adalah
putusan yangbersifat Condemnatoir sedangkan putusan yang bersifat declataroir
dan constitutif tidak memerlukan eksekusi. Putusan yang dapat dieksekusi adalah
putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau terhadap putusan
yang mengabulkan tuntutan dapat dilaksaakannya putusan terlebih dulu